PERAN STRATEGIS SANTRI DAN ULAMA DAYAH DALAM MENCEGAH KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DI ACEH
Oleh: Nura Safarina
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia terusik oleh berita kekerasan demi kekerasan yang dilakukan muslim atas nama Islam seperti tragedi Cikeusik dan Temanggung dalam kasus Ahmadiyah. Belum lagi masalah ini selesai teror “bom buku” pun muncul, seperti ledakan bom di Utan Kayu yang juga membuat posisi Islam tersudut. Tidak hanya di Jawa, di Aceh pun peristiwa-peristiwa kekerasan atas nama agama semakin menari-nari didepan mata kita seperti kasus amuk massa di Fajar Hidayah Montasik Aceh Besar dan yang terbaru adalah kasus amuk massa di desa Jambo Dalam Jeunib, Kabupaten Bireuen. Tindak kekerasan atas nama agama di Aceh mengalami peningkatan. Sejak tahun 2011 labelisasi aliran sesat telah memakan korban. Sedikitnya, tiga orang terbunuh di Plimbang (Aceh Besar), 10 orang mengalami luka-luka, ratusan warga diusir dari kampung halaman, dan puluhan anak-istri kerap mendapat intimidasi setiap hari[1].
Meluasnya kasus tuduhan menyebarkan aliran sesat dalam masyarakat Aceh telah menimbulkan masalah serius yang mengancam eksistensi dan masa depan kemanusiaan di mata hukum dan umat.
Semua karena persoalan prasangka adanya aliran/ajaran sesat. Keberislaman kita sekali lagi tercoreng justru disaat kita sedang ingin mempraktekkan Islam rahmatan lil’alamin seperti yang diusung Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah.
Banyaknya konflik yang berakibat pada kekerasan atas nama agama di Aceh dikarenakan para penganut agama di negeri ini salah dalam memahami agama itu sendiri. Kesalahan itu, muncul karena disebabkan dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal, sebagai umat beragama dituntut untuk menyebarkan kebaikan dan melawan kemungkaran. Namun sayang, prespektif kebaikan dan kemungkaran itu dirasa sangat subjektif, sehingga menganggap agamanya benar yang harus dibela dan agama orang lain salah dan harus dilawan.
Sebagian menganggap hal itu sebagai jihad, padahal tentu secara kacamata itu merupakan tindakan radikal yang dapat merugikan agamanya sendiri. Karena esensi agama apapun di dunia ini selalu mengajarkan kasih sayang.
Sementara faktor eksternal, berasal dari kondisi di Indonesia yang saat ini carut marut baik hukum, politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Faktor eksternal itulah yang selalu berada di belakang konflik dan kekerasan umat beragama di Indonesia[2].
Ketua Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama (Kemenag) RI, Mubarok, mengatakan, kekerasan atas nama agama di Indonesia memang banyak sekali terjadi. Ia juga mengaku bahwa sebagian besar konflik atau kekerasan itu bukan atas dasar agama, melainkan faktor lain seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan faktor lainnya.
«أَحَبُّ الدِّينِ إلى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ»
Menurut data yang penulis himpun dari berbagai sumber , sepanjang tahun 2012 telah terjadi 274 kasus kekerasan atas nama agama. Hal ini meningkat 1 % dari tahun 2011 yang berjumlah 267 kasus. Hal ini membuktikan bahwa, sebagian besar masyarakat ternyata masih ‘gagap’ dalam menyikapi masalah perbedaan. Penulis melihat ada dua faktor yang menyebabkan kenapa hal ini terus terjadi: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terjadi karena adanya keterbatasan pengetahuan oleh pemeluk agama dalam memahami agamanya, sehingga memunculkan pemahaman skripturalisme. Skripturalisme adalah sebuah pemahaman yang menempatkan agama hanya sebatas teks-teks keagamaan. Dalam paham ini, fungsi utama dalam sebuah agama hanya terletak pada teks-teks yang terkandung di dalamnya. Mereka mengabaikan substansialisasi dan kontekstualisasi keagamaan. Dampaknya adalah mereka terpenjara oleh teks, dogma, dan simbolisme keagamaan. Menurut penulis ini sangat berbahaya, karena pemahaman semacam ini akan berpotensi besar untuk melahirkan kekerasan dan anarkisme.
Sebagaimana kita cermati hari demi hari contoh kekerasan atas nama agama semakin meningkat. diantara kasus kekerasan tersebut yaitu yang terjadi di Ujong Pancu (Aceh Besar), Lamteuba (Aceh Besar), Ateuk Lam Ura (Aceh Besar), Suka Damai (Banda Aceh), Guhang (Aceh Barat Daya), Nisam (Aceh Utara), Blang Bintang (Aceh Besar), dan Kuta Binjei Julok (Aceh Timur). Kemudian, komunitas Laduni (Aceh Barat).
Untuk itulah, sudah saatnya para tokoh Islam menyadarkan para penganut agamanya untuk lebih dewasa dalam memahami agama dalam konteks Aceh yang beragam ini, selain itu, pemerintah Aceh melalui penegak hukumnya harus tegas menindak penganut agama yang selalu melakukan kekerasan atas nama agama itu. Dan untuk menanggapi sejumlah kekerasan atas nama agama di Aceh, haruslah ada para tokoh yang turut berantisipasi dalam penanggulangan hal ini. Diantaranya adalah para tokoh ulama dan para santri di Aceh. Mereka memiliki sejumlah peran penting demi kemaslahatan masyarakat Aceh.
Ulama dan santri yang dinanti-nanti umat adalah yang mengulurkan tangannya dengan penuh kasih kepada masyarakat. Mereka menuntun umat menuju kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Ulama dengan kualitas kepemimpinan umat ini adalah seorang yang mengakar ke masyarakat. Ia hidup dan berbaur dengan persoalan umat. Yang dengan begitu, umat akan merasa bahwa ulama adalah bagian dari mereka. Sehingga fatwa dan wejangannya akan diikuti oleh masyarakat. Ulama adalah aktivitas perbaikan dan pengentasan persoalan umat. Ulama adalah pewaris para nabi. Warisan nabi, dalam hal ini, bukan hanya ilmu. Tapi juga peran dan tanggung jawab. Ilmu dan peran serta tanggung jawab itulah yang diwarisi ulama. Para nabi diutus oleh Allah SWT dengan misi perbaikan. Para nabi berperan di tengah umatnya sebagai pelita yang menerangi jalan umat menuju cita-cita luhur penciptaannya.
Ulama sebagai perawis para nabi dituntut mampu melakoni peran yang sama. Ia memikul tanggung jawab untuk berperan di masyarakat. Ulama harus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang menghimpit masyarakat.
Ulama sebagai perawis para nabi dituntut mampu melakoni peran yang sama. Ia memikul tanggung jawab untuk berperan di masyarakat. Ulama harus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang menghimpit masyarakat.
Begitu juga dengan para santri. Santri adalah ulama cilik. Mereka juga merupakan penyelamat umat di Aceh tercinta ini. Untuk memainkan peran tersebut, mereka dituntut aspiratif dan memiliki kepekaan. Kepekaan menangkap akar dari setiap permasalahan. Ia tidak terjebak pada sebatas mengenal fenomena masalah. Sehingga jalan keluar yang ditawarkannya tidak justru menimbulkan persoalan baru. Mereka juga menawarkan solusi-solusi kreatif dan inovatif terhadap persoalan umat. Untuk itu, mereka tidak pasif. Apalagi berpangku tangan terhadap masalah-masalah umat. Mereka justru terjun ke masyarakat. Mereka larut dalam denyut nadi masyarakat. Kemudian, dengan kapasitas intelektual dan kepemimpinan, mereka tuntun umat menuju kepada kehidupan yang lebih baik.
Kebijaksanaan sejatinya kualitas mental yang diperoleh lewat proses pembelajaran pribadi yang justru lebih lama dan lebih berat. Kebijaksanaan diperoleh dari penghayatan yang mendalam terhadap ilmu-ilmu yang telah dikaji. Ia juga digali dari pengalaman dan interaksi dakwah yang lama di masyarakat[4].
Sebaliknya, kebijaksanaan tanpa dasar ilmu adalah semu. Kebijaksanaan semacam ini hanya melahirkan makhluk oportunis yang cenderung akomodatif terhadap semua pihak. Walau harus mengorbankan nilai-nilai dasar dan prinsipil dalam Islam.
Peran yang juga harus dimainkan oleh para tokoh ulama dan para santri diantaranya adalah peran akademis, yaitu peran untuk mengembangkan program islamisasi ilmu. Istilah Islamisasi ilmu dalam bahasa Arab disebut “Islamiyyat al-Ma’rifat” atau “Islamization of Knowledge” dalam bahasa Inggris. Peran ini tentu sangat penting mengingat bahwa mereka memiliki peran penting di era yang akan datang.
Dalam perkembangannya Islam sebagai jalan dakwah (Mengajak bukan mengejek, menghimbau bukan mengharap, merangkul bukan memukul, menyentuh bukan menyinggung) begitulah jalan dakwah Islam.
Begitulah sejumlah peran stategis para ulama dan santri demi penanggulangan kekerasan atas nama agama di Aceh. Semoga Aceh semakin damai tanpa adanya kekerasan terutama kekerasan atas nama Agama. Dan bisa menjadi Aceh yang mempraktekkan islam rahmatan lil ‘alamin.
Penulis adalah Santriwati kelas XI MAS Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Kreung Kalee.
[1]Kumpulan berbagai Sumber media cetak dan Online