Oleh Mustafa Husen Woyla*
Para Rasul adalah utusan Allah untuk menyampaikan risalah tauhid dan panduan hidup agar selamat di dunia dan akhirat. Pada mereka rasul dan ahlubait yang beriman adalah orang –orang yang dimuliakan dan disucikan oleh Allah SWT.
Menurut ulama sunni, Ahlulbait adalah keluarga Nabi Muhammad dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya.
Sekalipun ada segelintir ulama tauhid yang berpendapat bahwa nabi Muhammad SAW tidak ada lagi ahlulbait karena tidak ada anak laki-laki, sementara dalam islam, nasab dihitung dari pihak ayah, namun hal itu terbantahkan dengan sejumlah nash yang dimaksud ahlubait bukan hanya sekedar keturunan nabi, namun lebih luas kepada keluarga pihak ayah dan juga ibunya juga termasuk para istrinya, ummahatul mu’minin hingga kadang-kadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya.
Dalam banyak nash ayat dan hadist para ulama tauhid mutakallimin membahas secara khusus tentang adab menghormati dan sejumlah ancaman menghina ahlulbait atau disebut habib, jama’nya habaib, syarif-syarifah, sayyid-sayyidah dengan berbagai istilah menurut jalur keturanannya.
Dalam hadits riwayat Imām Baihaqī menjelaskan kewajiban menjaga adab dengan ahlulbait sebaagai berikut,
“Tidak sempurna iman seseorang sehingga kecintaannya padaku melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri, keluargaku (‘itratī – khusus) lebih dia cintai dibanding dirinya sendiri, dan keluargaku (ahlī – umum) lebih dia cintai dibanding dirinya sendiri dan dzatku dia cintai dibanding dzatnya sendiri.”
Logika sederhananya, memuliakan utusan Allah dan ahlulbaitnya sama dengan memuliakan Sang Pengutus, yakni Allah SWT.
Adapun untuk melegitimasi tentang betapa pentingnya memuliakan ahlubait, Allah menuntun langsung dalam ayat alquran surah Asy-Syura 23, “… Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu …”
Juga penguatan langsung dalam hadist, “Cintailah Allah atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah serta cintailah ahli baitku karena cinta kepadaku.” (HR. Ath-Tirmidzi). Dari hadist Tirmizi juga Sang Rasul berpesan secara tersirat “ Jangan sakiti aku memalui anak-anakku, istri-istri dan keturunan ku, karena dia adalah bagian dari diriku”
Maksudnya, satu paket lengkap iman adalah cinta kepada Allah, cinta kepada rasul-Nya serta ahlu bait adalah cinta yang bersifat wajib bukan cinta sunat, bahkan syarat kesempurnaan iman.
Hanya terjadi perbedaan ahlulbait dari pihak mana dan siapa saja di yang dimuliakan. Disitu terjadi perbedaan antara sunni-syiah, pun demikian pada intinya, semua firqah islam memberi penghormatan istimewa kepada mereka kecuali “khawarij”.
Jadi, jika ada orang yang tidak memuliakan para ahlu bait, ada beberapa kemungkinan, bisa jadi mereka dari golongan khawarij atau neo khawarij dan mungkin juga orang awam yang belum sempurna belajar ilmu tauhid secara memadai kadar wajib fadhu ain-nya.
Ahlulbait di Nusantara
Di Indonesia, para habaib memiliki sejarah panjang, diantaranya ada habib yang tercatat dalam sejarah politik nasional adalah Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Habib Ali Kwitang), Habib Ali Alatas (mantan Menteri Luar Negeri), Habib Lutfi bin Yahya dan Habib Rizieq Shihab.
Selain nama-nama tersebut masih banyak Habib-habib lainnya yang mempunyai pengaruh besar. Terutama di Aceh, ada Habib Bugak Al Asyi (Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi) Koordinator Wakaf Baitul Asyi di Mekkah, Habib Muda Seunagan atau Abu Peuleukung adalah seorang ulama dan pejuang yang berasal dari Nagan Raya dan Al-Qutb Al Habib Sayyid Abubakar bin Husein Bilfaqih ( Teungku Di Anjong) di Banda Aceh.
Adapun tentang peran dakwah para habaib di Aceh sangatlah luas, lebih lanjut, penulis merekomendasi membaca lengkap buku berjudul “Kontribusi Habaib di Aceh Dari Masa Ke Masa” yang ditulis oleh Yusuf Qardhawi Al-Asyi.
Sebenarnya warga Indonesia, tak hanya di Aceh sangat memuliakan para ahlubait dari zuriyat Sang Rasul Muhammad SAW.
Namun akhir-akhir ini, karena terkait pergerakan dan sikap politik, ada segelintir orang mencela para habaib, tapi itu tidak berlangsung lama, bahkan Negara juga sangat memuliakan para habaib, baik di dalam dan maupun dari luar negeri, buktinya banyak sekali acara kunjungan para habaib ke suluruh Indonesia, dan baru-baru ini Habib Umar bin Hafidz ulama terkemuka Hadramaut, Yaman dan tokoh dunia diundang pada kajian subuh di Masjid Istiqlal pada ahad 20/8/2023 bulan lalu.
Jadi, umumnya kaum muslimin Indonesia dan pemerintahannya mencintai para habaib sesuai dengan anjuran agama mayoritas di NKRI ini. Hanya hitungan jari para nitizen pengguna medsos berbasis video di tiktok menghujat para habaib karena ada kesalahpahaman.
Mereka ini bisa jadi tidak ada llmu tentang adab kepada zuriyat yang sucikan dalam islam atau mereka “menggadaikan iman” hanya untuk mencari cuan, memviralkan diri atau hanya sekedar cari ketenaran.
Ancaman Menghina Ahlubait Nabi
Setiap muslim mukallaf, tentu ada konsekwensi hukum taklif dalam islam, berupa dosa besar atau kecil, begitu juga hukum Negara tentu ada proses tersendiri.
Adapun ancaman dalam aqama islam, diceritakan dari Abu Sa’id Al-Khudriy ra
Rasulullah saw bersabda: “Demi dzat yang menguasai jiwa ragaku, tidaklah seseorang marah (mencaci dan membenci) kepada keluargaku kecuali Allah akan menceburkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Hakim).
Akhirul kalam, akhir tulisan ini kita hanya berharap kepada Allah memberi petunjuk kepada orang yang telah khilaf atau sengaja menghina para ahlubait.
Saran, buatlah konten kreatif dan positif yang tidak ada makian, apalagi bertalian dengan keluarga suci nabi, sungguh sangat disayangkan.
Namun jika tidak berubah, kita bertawakal dan menyerahkan kepada Allah sembari mengingat perkataan Nabi Nūḥ a.s. dalam al-Qur’ān:.
Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).” (Nūḥ [71]: 5-6).
Semoga tulisan ini yang penulis rujuk pada kitab “Sabibul ‘Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid karya KH Muhammad Shaleh Darat al-Samarani. Ia adalah ulama besar sekaligus guru tokoh pendiri Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yakni, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari. menjadi asbab turunnya hidayah bagi manusia yang merupakan tempat khilaf salah dan dosa.
Jadi, “njang ka, kakeuh, ukeu bek meuulang klayi.”
Penutup,
“Ajarilah anak-anakmu tiga perkara: cinta kepada nabi kalian, cinta kepada keluarga nabinya, dan membaca al-Qur’ān.” (HR. al-Thabrani).
Tidak bisa dibenarkan jika orang yang mengaku mencintai Nabi Muḥammad s.a.w. tapi membenci keturunan nabi.
Penulis Adalah, Pengamat Bumoe Singet, Ketum DPP ISAD Aceh, Guru Ilmu Kalam dan Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee.