Oleh : Tgk. H. Mutiara Fahmi Razali, Lc. MA
بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam sebuah hadits rasulullah saw mengabarkan bahwa kelak umat Islam akan berada dalam keadaan yang sedemikian buruknya sehingga diumpamakan laksana makanan yang diperebutkan oleh sekumpulan pemangsa. Sebagaimana sabda rasulullah saw sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah jumlah kami sedikit kala itu?” Rasul menjawab: ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan sungguh Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya:”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi menjawab: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud).
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita tarik dari hadits ini: Pertama, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memprediksi bahwa akan tiba suatu masa dimana orang-orang beriman akan menjadi rebutan ummat lainnya. Mereka akan mengalami keadaan yang sedemikian memprihatinkan sehingga diumpamakan seperti suatu porsi makanan yang diperbutkan oleh sekumpulan pemangsa. Artinya, pada masa itu kaum muslimin menjadi bulan-bulanan kaum lainnya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki kemuliaan sebagaimana di masa lalu. Mereka telah diliputi kehinaan dan rasa takut pengorbanan.
Kedua, pada masa itu kaum muslimin tertipu dengan banyaknya jumlah mereka padahal tidak bermutu. Sahabat menyangka bahwa keadaan hina yang mereka alami disebabkan jumlah mereka yang sedikit, lalu Nabishollallahu ’alaih wa sallam menyangkal dengan mengatakan bahwa jumlah muslimin pada waktu itu banyak, namun berkualitas rendah.
Hal ini juga dapat berarti bahwa pada masa itu ummat Islam sedemikian peduli dengan kuantitas namun lalai memperhatikan aspek kualitas. Yang penting punya banyak pendukung alias konstituen sambil kurang peduli apakah mereka berkualitas atau tidak. Sehingga kaum muslimin menggunakan parameter mirip kaum kuffar dimana yang banyak pasti mengalahkan yang sedikit. Mereka menjadi gemar menggunakan prinsip the majority rules (mayoritas-lah yang berkuasa) yakni prinsip yang menjiwai falsafah demokrasi modern. Padahal Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa pasukan berjumlah sedikit dapat mengalahkan pasukan musuh yang jumlahnya lebih besar dengan izin Allah.
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah ayat 249).
Pada masa dimana muslimin terhina, maka kuantitas mereka yang besar tidak dapat menutupi kelemahan kualitas. Sedemikian rupa sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengumpamakan mereka seperti buih mengapung. Coba perhatikan tabiat buih di tepi pantai. Kita lihat bahwa buih merupakan sesuatu yang paling terlihat, paling indah dan berjumlah sangat banyak saat ombak sedang bergulung. Namun buih pulalah yang paling pertama menghilang saat angin berhembus lalu menghempaskannya ke udara.
Ketiga, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengisyaratkan bahwa jika ummat Islam dalam keadaan terhina, maka salah satu indikator utamanya ialah rasa gentar menghilang di dalam dada musuh menghadapi ummat Islam. Artinya, sesungguhnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lebih menyukai ummat Islam senantiasa berwibawa sehingga disegani dan ditakuti musuh. Dewasa ini malah kita melihat bahwa para pemimpin berbagai negeri berpenduduk mayoritas muslim justru memiliki rasa segan dan rasa takut menghadapi para pemimpin kalangan kaum kuffar dunia barat. Alih-alih mengkritisi mereka, bersikap sama tinggi sama rendah saja sudah tidak sanggup. Padahal Allah menggambarkan kaum muslimin sebagai manusia yang paling tinggi derajatnya di tengah manusia lainnya jika mereka sungguh-sungguh beriman kepada Allah.
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحَزنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 139)
Umat Islam kehilangan identitas dan panutan sehingga kehilangan arah dalam semua lini kehidupan. Berdasarkan penelitian Badan PBB – UNESCO, Index pembangunan sumber daya manusia Indonesia sebagai masyarakat muslim terbanyak di dunia adalah rangking 112 dari 185 dari 185 negara dunia. Index ini meliputi bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Sungguh benar sabda baginda rasul saw:
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ، قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan,
“Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziroo’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”
Jika demikian kenyataannya, maka bagaimana kita dapat membangun kekuatan Umat Islam?
Pertama; Membangun kekuatan Iman dan aqidah.
Menurut para ulama iman adalah suatu keyakinan dalam hati seseorang kepada Allah swt yang diwujudkan dengan perkataaan dalam lisan, serta amalan dengan anggota badan. Artinya keimanan baru sempurna jika terdapat singkronisasi antara tiga unsur tadi; hati, ucapan dan perbuatan. Itu sebabbya kita mendapati ayat alquran dimana Allah selalu menggandengkan kalimat “Aamanu dengan wa ‘amilus shalihat”. Sebagai suatu isyarat tidak sempurna iman tanpa amal saleh demikian juga sebaliknya
Umat Islam tidak bisa menghindar dari unsur perubahan yang sekarang terjadi dimana-mana, sebab perubahan itu adalah tanda kehidupan itu sendiri. namun umat Islam memiliki satu modal nilai berupa keyakinan yang tidak bisa dilepas dari komitmen tauhid yaitu dua kalimat syahadat. Kalimat ini menjadi pondasi yang mengikat seluruh aktivitas kehidupan kita sehari-hari dan modal utama menuju gerbang akhirat.
Kekukuhan iman adalah syarat utama dalam membangun kekeuatan umat. Hal ini sangat disadari rasulullah saw sehingga iman para sahabat terus dibina dan diajarkan selama 13 tahun dari 23 tahun masa risalah. Artinya rasul melakukan porsi pembinaan ideologi umat selama lebih dari 56,5 % masa yang dibutuhkan utuk mengajari seluruh ajaran Islam. Tidak mengherankan kalau kemudian kita melihat imannya Bilal bin Rabah yang tetap pada ucapan “ahad.. ahad” meski disiksa oleh Umayyah bin Khalaf dengan segala bentuk penyiksaan.
Imannya Ammar bin yasir yang sekeluarga terus menerus disiksa namun tetap bertahan lalu rasul mendoakan mereka “sabarlah wahai keluarga Yasir, ssunguhnya janji Allah kalian adalah syurga.”
Atau imannya Sa’ad bin Abi Waqqash yang ibunya mogok makan demi anaknya kembali kepada kekufuran namun ia berkata dengan tegas dan sopan: “ibuku jika engkau memiliki 70 nyawa, lalu nyawa itu keluar satu persatu darimu agar aku meninggalkan agama ini sungguh aku tidak akan meninggalkannya.”
Atau imannya saidina Abu Bakar yang diceritakan kepadanya oleh orang lain tentang isra da mi’rajnya rasul lalu tanpa perlu mengkonfirmasi kebenarannya kepada nabi beliau segera menjawab dengan keyakinan yang pasti: “ jika Ia Muhammad yang mengatakannya pasti benar.”
Dan lihat pula imannya wanita dari suku al Ghamidiyah yang datang kepada rasul mengaku bahwa ia telah berzina dan meminta dihukum rajam.lalu rasul menyuruhnya pulang hingga ia melahirkan. Namun setelah lahir anaknya ia datang lagi dan kembali meminta rajam. Rasul kembali menyuruhnya pulang sampai anaknya selesai disusui selama dua tahun. Setelah anaknya beranjak besar dan dapat makan sendiri si wanita kembali menjumpai rasul meminta dirinya dhukum atas perbuatan zina. Adakah contoh-contoh keteguhan iman seperti ini dalam kehidupan kita sekarang?
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah..
Seseorang yang yakin akan adanya Tuhan yang selalu mengawasi, adanya hari kebangkitan, adanya hari pembalasan dan adanya syurga dan neraka, akan mengukur setiap perbuatannya sebelum bertindak, dan menimbang sebelum berkata. Tindakan ini akan melahirkan umat yang seimbang antara keyakinan, ucapan dan perbuatan. Untuk menciptakan kekokohan iman sangat perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak kita. Pengenalan sifat-sifat Allah yang 20 adalah salah satu cara untuk mengenalkan kehadiran Allah dalam setiap aktifitas kita. Menimbang resiko dan siap bertanggungjawab atas segala konsekwensinya. Pendidikan yang lebih menekankan aspek hukum, atau langsung ke subtansi ajaran syariat tanpa pengenalan dan pendalaman aqidah akan berefek terhadap lahirnya pemikir yang alim/pintar dalam hukum namun tidak sadar dalam pengamalan hukum. Bahkan lebih berbahaya karena dapat mencari hilahdalam hukum.
Pengaruh positif dari aqidah yang kuat juga akan membuat seorang mukmin memiliki prinsip yang tegas dalam setiap keadaan, tidak lupa diri pada saat senang, baik senang karena harta, jabatan, popularitas, pengikut yang banyak maupun kekuatan jasmani. Dia juga tidak putus asa pada saat mengalami penderitaan, baik karena sakit, bencana alam, kekurangan harta maupun berbagai ancaman yang tidak menyenangkan, inilah yang membuatnya menjadi manusia yang mengagumkan, Rasulullah saw bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ اِنَّ اَمْرَهُ كُلَّهُ لَخَيْرٌ وَلَيْسَ ذَالِكَ ِلأَحَدٍ اِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ ِانْ اَصَبَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَاِنْ اَصَبَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Menakjubkan urusan orang beriman, sesungguhnya semua urusannya baik baginya dan tidak ada yang demikian itu bagi seseorang selain bagi seorang mukmin. Kalau ia memperoleh kesenangan ia bersyukur dan itu baik baginya. Kalau ia tertimpa kesusahan, ia sabar dan itu baik baginya (HR. Ahmad dan Muslim).
Atas dasar ini maka pemantapan aqidah dalam pendidikan mutlak dibutuhkan dalam membangun kekuatan umat.
Kedua; Membangun Kekuatan Ilmu.
kekuatan ilmu dalam arti umat ini harus menguasai ilmu pengetahuan demi kemaslahatan umat, bukan mencari ilmu sekadar untuk mendapat gelar kesarjanaan, atau pekerjaan, atau yang lebih berbahaya adalah memperoleh gelar kesarjanaan namun tidak memiliki kompetensi ilmu.
Menimba ilmu dan mengamalkannya merupakan suatu keniscayaan dalam rangka membangun kekuatan umat. Hal ini sangat disadari oleh rasulullah saw. sejak awal penyebaran Islam, oleh karena nabi selalu mengirimkan utusannya ke berbagai wilayah guna mengajari umat ilmu pengetahuan. contohnya ‘Itab bin Asid yang diutus ke Mekkah, Mu’az bin Jabal ke Yaman dan lain sebagainya.
Ajaran Islam sangat mementingkan ilmu pengetahuan. Bukti yang paling besar atas hal ini adalah firman pertama yang Allah turunkan kepada rasulullah adalah perintah membaca. (اقرأ ). Perintah membaca tidak hanya kepada ayat-ayat Allah yang tertulis, melainkan juga kepada ayat-ayat kauniyah (alam semesta) yang terhampar didepan mata kita. Sebab kedua model ayat itu akan membawa kepada satu natijah yaitu pengakuan atas kehambaan kita selaku makhlukdan pengakuan keesaan Allah yang Maha Kuasa, Agung dan Bijaksana selaku al Khaliq.
Rasulullah juga mewajibkan setiap muslim menuntut ilmu, terutama ilmu agama yang hukumnya fardhu ‘ain. Karena ajaran Islam sejatinya harus kita amalkan. Pengamalan agama tanpa ilmu dan guru akan membawa kepada kesesatan yang nyata. Sebagaimana ilmu tanpa amal juga bagai pohon yng tidak berbuah. Bahkan seluruh pembebanan syari’at atau taklif pada dasarnya hanya dibebankan pada orang yang memiliki akal yang sempurna (baligh). Intinya Islam sangat mementingkan peran akal dan ilmu pengetahuan.
Pemahaman Ilmu yang wajib dipelajari tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Namun juga pada ilmu lainnya yang bersifat fardhu kifayah. Seperti ilmu kedokteran, pertanian, kelautan, pertambangan, bahasa dan lain sebagainya. Sebab semua itu sangat dibutuhkan umat Islam dalam mengelola kehidupan mereka baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Diriwayatkan dalam sunan Turmuzi bahwa Rasulullah saw menyuruh Zaid bin tsabit untuk mempelajari bahasa asing yaitu bahasa ibrani karena beliau tida merasa yakin dan nyaman dengan terjemahan orang non muslim :
عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ لَهُ كَلِمَاتٍ مِنْ كِتَابِ يَهُودَ قَالَ إِنِّي وَاللَّهِ مَا آمَنُ يَهُودَ عَلَى كِتَابِي (رواه الترمذى)
Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit RA: Rasulullah saw memerintahkan saya agar mempelajari beberapa kalimat dari kaum Yahudi. Rasul bersabda, “demi Allah sungguh saya, merasa tidak tenang pada kaum Yahudi, mengenai surat saya.”
Lalu Zaid mempelajarinya hingga mampu berkomunikasi dengan bahasa Ibrani hanya dalam waktu dua minggu. Semenjak itu Zaid lah yang selalu ditugasi rasul menulis dan membaca suratnya kepada bangsa Ibrani. Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa Zaid mampu berbahasa Suryani.
Ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi hari ini telah mnyebabkan kita menjadi umat yang kehilangan jatidiri dan mengekor dalam semua bidang. Padahal sebelumnya para ilmuawan Islam telah membuka mata Eropa dengan kemajuan iptek di Andalusia. Sehingga Eropa bangkit dari keterpurukan abad pertengahan yang kelam dan memasuki era pencerahan karena persinggungan mereka dengan peradaban Islam di Eropa. Namun sayangnya kita terbuai dengan kejayaan nenek moyang kita. Terlalu puas dengan apa yang telah dihasilkan, sehingga gerbong peradaban ilmu direbut dari umat Islam.
Hari ini kita butuh kepada pemimpin-pemimpin yang sadar akan masalah ini seperti Umar bin Abdul Aziz, Harun ar rasyid, al Mansur dan lain sebagainya yang memajukan dan mendorong sektor pendidikan bangsa diatas segala prioritas yang lain. Para ulama mengatakan:
عمارة الانسلن أهم من عمارة البلدان
Membangun peradaban manusia lebih diprioritaskan daripada membangun peradaban kota dan negeri. Infrastuktur pembangunan memang sangat penting, namun pembangunan manusia yang akan mengisi bangunan dan merawatnya jauh lebih penting. Terbukti 12 tahun setelah sunami menghancurkan negeri kita, kota Banda aceh ini telah hidup kembali melebihi keindahan sebelumnya. Namun apakah kejayaan peradaban ilmu ulama aceh dahulu seperti Tgk Syiah Kuala, Nuruddin Ar Raniry mampu dikembalikan saat ini setelah ratusan tahun mereka wafat? Dalam beberapa waktu lagi masjid Baiturrahman kebanggaan umat Islam Aceh juga akan ssegera rampung, namun kita juga berharap pemakmuran masjid dari sisi ibadah dan sentral pendidikan juga akan semakin meningkat.
Sungguh tepat ungkapan Imam Syafi’ie yang menyatakan:
من اراد الدنيا فعليه بالعلم ومن اراد الآخرة فعليه بالعلم ومن ارادهما فعليه بالعلم
Barang siapa yang menghendaki dunia wajib dengan ilmu,barang siapa menghendaki akhirat wajib dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya wajib dengan ilmu.
Ketiga; Membangun Kekuatan Moral.
Seorang penyair kenamaan Ahmad Syauqi, menyatakan :
إِنَّماَ الأُمَمُ الأَخْلاَقُ ماَ بَقِيَتْ # وَإِنْ هُمُوْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Suatu bangsa akan kekal selama berakhlak
Bila akhlak lenyap, lenyaplah bangsa itu.
Rasulullah menegaskan bahwa tugas pokoknya sebagai rasul adalah memperbaiki moral manusia.
Semua ajaran Islam berefek pada perbaikan norma dan akhlak. Tanpa itu amalan ibadah menjadi kering tidak bermakna, tidak merubah sikap individu apalagi masyarakat. Tidak ada akhlak yang lahir tanpa iman dan amalan. Kalaupun ada ia adalah akhlak yang semu.. tergantung di awang-awang antara langit dan bumi..sebab akhlak adalah buah dari cabang dan dahan dari sebuah pohon. Dan pohon itu punya akar. akarnya adalah aqidah dan rukun iman. Pohon dan cabang-cabangnya adalah rukun Islam, sementara buahnya adalah norma. Etika dan akhlak mulia. Lihatlah buah dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan munkar. Buah dari puasa adalah benteng bagi hawa nafsu. Buah dari zakat pembersihan harta dan jiwa sekaligus saling membantu sesama manusia. Buah dari haji adalah kumpulan dari kesemua norma dan etika itu. Lalu kalau kemudian kita menemukan orang yang shalat namun keluar dari masjid masih mencuri sandal misalnya maka kualitas ibadahnya perlu dipertanyakan.
Bukankan Jibril datang menjumpai rasulullah saw dan mengajarkannya pokok-pokok agama Islam? Lalu ia bertanya : Apa itu Iman? Apa itu Islam? Dan apa itu Ihsan? Itulah yang kemudian menjadi kesimpulan agama ini, membangun kualitas visi dengan aqidah, membangun kualitas misi dan amal dengan ibadah dan syari’ah, dan membangun kualitas hati dan jiwa dengan Ihsan dan tasauf.
Kekuatan Iman adalah pemersatu dan perekat yang sangat kuat bagi umat. Sabda rasul saw riwayat Imam Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Bazzar:
الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ، وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ السُّوءَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَبْدٌ لا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Orangmukmin itu ialah orang yangmana orang lain merasa aman dari gangguannya. Orang Islam itu ialah orang yangmana orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya. Orang yang berhijrah itu ialah orang yang meninggalkan kejahatan. Demi Tuhan yang jiwaku di tanganNya, tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya”.
Sebelum datangnya Islam, diyakini bahwa faktor pengikat persaudaraan adalah sedarah, senasab, sesuku, sebangsa atau berbagai pengikat semu lainnya. Namun agama Islam datang merubah paradigma jahiliyah tersebut dan mengukuhkan bahwa ikatan Iman adalah pengikat hakiki dari persaudaraan manusia. Sebab kalau dengan orang sekampung saja kita bisa merasa saudara ketika berada diperantauan atau dengan saudara sekandung saja kita bisa merasa saudara sebab lahir dari ayah yang sama, maka kesadaran kita sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah-Tuhan yang sama adalah persaudaraan yang jauh lebih kuat. Kita dicipta olehNya dan akan sama-sama kembali kepadaNya.
Sayangnya kesadaran akan persaudaran seiman ini mulai memudar dan menyebabkan kita lemah dari dalam maupun luar. Musuh Islam dengan mudah mengobrak abrik negara-negara muslim karena mereka tahu umat Islam tidak bersatu. Orang ketiga akan mudah masuk ketika tahu ada dua saudara yang bertengkar. Pemimpin yang bertengkar bukan hanya dimanfaatkan oleh pihak lain tapi juga berdampak luas pada tatanan masyarakat akar rumput kita.
Perselisihan pendapat adalah fitrah manusia, akan tetapi agama mengajari kita berselisih dengan cara-cara yang santun, argumentataif dan saling menghormati. Perselisihan pendapat dalam mazhab –misalnya- pada intinya adalah keluwesan dalam beragama bukan penyimptan dalam beragama. Lawan diskusi adalah kawan dalam menemukan kebenaran. Lawan tanding dalam perlombaan adalah kawan dalam berolahraga. Sehingga tidak patut dipandang sebagai musuh. Imam Abul hasan al Asy’ari menyatakan “barang siapa yang shalat dengan shalat kami, menghadap kiblat kami dan makan sembelihan kami maka ia adalah saudara kami.” Mazhab Asy’ariyah adalah satu-satunya mazhab yang tidak mengkafirkan saudara sesama Islam.
Adanya mazhab bukanlah pemicu konflik tetapi sebagai pemandu dalam kegelapan dan penuntun bagi kaum awam yang tidak mampu memahami dalil-dalil syara’ sehingga dapat menjalankan amalan agamanya. Perhatikan pula bangaimana para imam mazhab saling menghormati dan menghargai pendapat, bahkan adat istiadat dan budaya yang baik yang telah menjadi tradisi turun temurun disuatu tempat.
Dalam kitab at Thabaqat Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari gurunya Al Waqidi, bahwa ketika Khalifah Abu Ja’far Al Manshur melakukan haji, ia mengundang Imam Malik dan menyampaikan tekadnya untuk memerintahkan dengan kitab Al Muwaththa’ karya Imam Malik. Lalu Imam Malik menjawab,”Wahai Amirul Mukminin, janganlah Anda lakukan hal itu. Sesunggunya telah sampai terlebih dahulu kepada mereka berbagai pendapat, mereka juga menyimak hadits-hadits, mereka juga meriwayatkan periwayatan. Dan setiap kaum mengambil dari apa yang datang terlebih dahulu kepada mereka dan mereka mengamalkannya. Jika Anda jauhkan mereka dari apa yang mereka yakini, maka hal itu cukup memberatkan. Biarkan manusia bersama dengan apa yang mereka pijak dan apa yang dipilih oleh setiap negeri untuk mereka masing-masing”.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ketika hal tersebut dipertanyakan kepadanya, maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”.
Perhatikan pula bagaimana adab dan penghormatan para ulama seperti kisah Imam Syafi‘i yang pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid agar mengangkat Imam Ahmad menjadi Qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi Qadhi untuk mereka.”
Saudaraku, jika para Imam mazhab saja dapat sedemikian hormat dan santun, tentu kita sebagai pengikut mereka yang ilmu dan amalannya masih jauh dari sifat seorang mujtahid tentu sangat pantas untuk lebih sopan dan menghargai sesama.
Sungguh benar firman Allah dalam surat Al Anfal: 46
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu..
Jika Islam telah menghormati akal dan pikiran (حفظ العقل ) sebagai salah satu bentuk dari pemeliharaan maqasid syar’iyyah, maka pemeliharaan keutuhan agama (حفظ الدين ) harusnya jauh lebih kita prioritaskan dari kelima maqasid syar’iyyah.
Kelima; Membangun Kekuatan Ekonomi
Saudaraku. Kekuatan Umat Islam akan terwujud ketika uamt Islam menjadi umat yang produtif, tidak berpangku tangan pada orang apalagi bangsa lain. Allah swt juga senang kepada siapa saja yang berusaha secara halal meskipun harus dengan susah payah, Rasulullah saw bersabda:
إنَّ للهَ تَعَالىَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى تَعِبًا فىِ طَلَبِ الْحَلاَلِ
Sesungguhnya Allah cinta (senang) melihat hambanya lelah dalam mencari yang halal (HR. Ad Dailami).
Usaha yang halal meskipun sedikit yang diperoleh dan berat memperolehnya merupakan sesuatu yang lebih baik daripada banyak dan mudah mendapatkannya, tapi cara memperolehnya adalah dengan mengemis yang hanya akan menjatuhkan martabat pribadi. Bila mengemis saja sudah tidak terhormat apalagi bila mencuri atau korupsi dan cara-cara yang tidak halal lainnya. Rasulullah saw bersabda:
لأَنْ يَحْمِلَ الرَّجُلُ حَبْلاً فَيَحْتَطِبَ بِهِ، ثُمَّ يَجِيْءَ فَيَضَعَهُ فِى السُّوْقِ، فَيَبِيْعَهُ ثُمَّ يَسْتَغْنِىَبِهِ، فَيُنْفِقُهُ عَلَى نَفْسِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، اَعْطَوْهُ اَوْمَنَعُوْهُ.
Seseorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar, lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya, maka itu lebih baik daripada seorang yang meminta minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak (HR. Bukhari dan Muslim).
Salah satu rukun Islam adalah zakat, dan sejatinya zakat tidak akad terjadi tanpa ada muzakki. Untuk menjadi muzakki kita perlu berusaha dalam kehidupan sehingga mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk berzakat. Jika demikian sebenarnya agama ini menuntut kita untuk selalu berupaya dan berkarya. Dengan itu kita akan jadi umat yang kuat. Rasul bersabda:
,Untuk menjadi muzakki kita perlu berusaha dalam kehidupan sehingga mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk berzakat. Jika demikian sebenarnya agama ini menuntut kita untuk selalu berupaya dan berkarya. Dengan itu kita akan jadi umat yang kuat. Rasul bersabda:
المؤمن القوي خيروأحب الى الله من المؤمن الضعيف، وفى كل خير ( رواه مسلم )
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan disenangi oleh Allah dari
mukmin yang lemah. Dan pada keduanya ada kebaikan.”
Hadis ini memberi makna mukmin yang kuat iman, tubuh, dan amalnya lebih baik daripada mukmin yang lemah iman, tubuh dan amalannya. Sebab mukmin yang kuat dapat melakukan sesuatu, dan memberikan manfaat yang lebih kepada kaum muslimin dengan kekuatan tubuh, iman, dan amalnya. Kekuatan seoarang mukmin secara ekonomi tentu juga akan sangat mendukung roda perekonomian umat, membuka lowongan pekerjaan, menghidupkan banyak keluarga, memajukan pendidikan, dan dengan sendirinya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya kemiskinan bukan saja membawa dampak kesengsaraan dan kebodohan, akan tetapi juga bahaya bagi keimanan. Bukankah rasul mewanti-wanti kita dengan sabdanya “Hamper-hampir kefakiran dapat membawa kepada kekufuran.”
Saudaraku seiman.
Mari kita lakukan sesuatu untuk membangun kekuatan umat; kekuatan iman, ilmu, akhlak, kekuatan persaudaraan dan kekuatan ekonomi. Tidak semua kita mampu melakukan segala hal. Ambillah bagian menurut kemampuan dan porsi kita masing-masing dan yakinlah Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan apa yang kita perbuat –sekecil apapun – untuk kemaslahatan umat Islam.
Ingatlah kisah seekor burung yang berupaya sekuat tenaga untuk menyiramkan air dengan paruhnya yang kecil kedalam api besar yang menyala-nyala membakar nabi Ibrahim As, lalu ketika para iblis dan syaitan mentertawakannya dan berkata: “Usahamu itu sis-sia dan tidak akan memadamkan api raja Namrud.” Sang burung menjawab dengan yakin” “ Setidaknya aku sudah punya alasan dihadapan Allah kelak, ketika Dia bertanya kepadaku “apa yang telah kau upayakan untuk membantu rasulKu Ibrahim ketika dibakar oleh Namrud?” Semoga upaya kita terhadap Islam jauh lebih besar dari upaya burung tadi.
[1] Penulis adalah Dosen Fiqh Siyasah merangkap Ketua Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah), Fak Syari’ah dan Hukum UIN Ar Ranry serta Guru Dayah Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Siem, Aceh Besar.