Tgk Muhammad Faisal, Pimpinan Dayah Darul Ihsan saat mengisi kajian Tastafi Banda Aceh di Hotel Hermes Palace, di Kota Banda Aceh, Selasa, 23 Juni 2020. |
Banda Aceh – Pengajian Perdana Pasca Idul Fitri Majelis TASTAFI Kota Banda Aceh dan Aliansi Ormas Islam bertema “Sejarah dan Perkembangan Tasawuf”, di Hotel Hermes Palace, Jl. T. Panglima Nyak Makam, Lambhuk, Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Selasa, 23 Juni 2020, malam.
Pengajian yang difasilitasi pihak hotel ini terbuka untuk umum namun masih dalam jumlah terbatas karena adanya pembatasan keramaian di tengah pandemic covid-19.
Berikut diantara kajian yang disampaikan oleh Tgk Muhammad Faisal Sanusi, pimpinan dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee yang juga anggota MPU Aceh Besar dan dosen UIN Ar-Raniry;
Tgk Faisal membuka dengan memperkenalkan MABADI (dasar) ilmu TASAWUF, yakni: definisi, tema, manfaat, keutamaan, korelasi, nama, landasan, hukum, dan probematikanya. Kemudian dilanjutkan dengan sekilas sejarah perkembangannya.
Dalam Shahih al-Bukhari terdapat sebuah hadis riwayat Sayyidina ‘Umar ibn Al-Khatthab ra yang dikenal dengan hadis Jibril dimana Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan. Dari 3 aspek ini, para ulama mengkodifikasi ilmu-ilmu syariat. Dari Islam lahirlah ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, dari Iman lahirlah ilmu Tauhid dan dari Ihsan lahirlah ilmu Tasawuf. Yang hari ini boleh kita rangkum menjadi TASTAFI.
“Ada beberapa kitab yang representatif membahas secara lengkap tentang ajaran tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu, antara lain Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, ar-Risalah al-Qusyairiah karya Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi, dan lain sebagainya.” rinci Tgk Faisal.
Ajaran Tasawuf murni lahir dari syariat Islam. Para ulama sufi mengatakan jalan kita ini (thariqat) terkait erat dan dibawah naungan al-Quran dan al-Sunnah. Dibangun atas dasar dalil yang tersurat (kitabullah al-masthur) maupun yang tersirat (kitabullah al-mandzur). Karena itulah, ajaran tasawuf tidak bertentangan dengan kedua sumber utamanya,
Meskipun demikian, ada saja sebagian orang yang berpendapat bahwa ajaran Tasawuf ini berasal dari luar islam, ini boleh jadi akibat kekeliruan dan kebodohan yang nyata dan tidak berdasar sama sekali. Ataupun karena ingin meruntuhkan ajaran Islam yang dibangun di atas tiga fondasi: Iman (tauhid), Islam (fiqh) dan Ihsan (Tasawuf). Misalnya tuduhan bahwa sufi atau tasawuf berasal dari Syiah.
Padahal, jika ditelusuri secara mendalam, syiah tidak memiliki ajaran tasawuf. Yang ada sama-sama menjunjung tinggi hubbu alil bait cinta kepada keluarga Nabi SAW. Dalam hal ini pun sebenarnya tidak sama, karena Syi’ah melakukan ‘pengkultusan’ kepada zuriat Rasulullah Saw.
Dalam ajaran Tasawuf ada sebagian sufi mencapai ahwal atau maqam tertentu.
“Para sahabat Rasulullah Saw ada yang mencapai maqam tertentu, di antaranya ‘Ubadah bin ash-Shamit yang dapat mendengar salam dari malaikat. Juga Bilal bin Rabah yang pernah ditanya oleh Rasulullah SAW tentang apa yang menyebabkan suara terompahnya (sandal) berada di dalam surga. Itu adalah hal ahwal tertentu yang dicapai oleh sahabat Rasulullah SAW. Para sahabat tidak ma’sum (terhindar dari dosa).” Tegas anggota MPU Aceh besar ini.
Berbicara tentang ahwal erat kaitannya dengan perjalanan rohani atau spiritual para sufi memang pelik, karena objek kajian tasawuf adalah hati. Ketika para sufi telah melewati proses takhalli (pembersihan jiwa), lalu tahalli (penghiasan jiwa), maka terjadilah tajalli dimana pada maqam tertentu akan terjadi tanazzul anwar atau mukasyafatul qulub (Pen. turunnya nur makrifah). Bukan hal atau maqam yang menjadi tujuan namun perjalanan ini semua bertujuan akhir kepada Allah SWT (ilahi anta maqsudi).
“Karena itulah Syeikh Abdul Qadir al-Jilani berwasiat kepada anaknya menjelang wafat: Terbanglah menuju Allah SWT dengan kedua sayapmu berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Jawab Tgk Faisal dari salah seorang jamaah yang mempertanyakan apakah sufi bisa lepas dari taklif syariat islam. [Tafa & Tu Sudan]